BERITA LAMPUNG

Tuesday, May 11, 2010

Konvensi Baru mengenai Pekerja Rumah Tangga

Berita baik ini disampaikan Nisha Varia, peneliti senior Divisi Hak Asasi Perempuan Human Rights Watch, di New York. ”Isu pekerja rumah tangga telah menjadi isu besar secara global,” ujar Nisha yang ditemui khusus di Jakarta, Rabu (3/2).

Organisasi Buruh Internasional atau ILO akan merundingkan konvensi baru mengenai pekerja rumah tangga atau bulan Juni 2010 di Geneva, Swiss. Isu PRT dinilai kian kritis karena kerja penuh risiko itu tak tersentuh perlindungan hukum dan tak ditangani sistematis oleh banyak pemerintah.

Di beberapa negara, isu ini juga menjadi perhatian. Nisha mengatakan, Dewan Syura di Arab Saudi akhirnya mengesahkan tambahan dalam hukum perburuhan menyangkut klausul baru tentang PRT. Di Uni Emirat Arab dan Lebanon juga demikian, meski banyak kelemahan dan implementasinya sulit.

Jordania adalah negara Arab pertama yang memasukkan sekitar 70.000 pekerja rumah tangga di bawah perlindungan hukum perburuhan, Juli 2008. ”September 2009 Kementerian Perburuhan mengeluarkan peraturan lebih terinci tentang perlindungan itu,” jelas Nisha.

Lita Anggraeni dari Jaringan Nasional Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) yang dihubungi terpisah menambahkan, upaya menciptakan konvensi PRT internasional itu muncul sekitar 70 tahun lalu, tetapi terus tergerus isu lain dan baru terangkat lagi tahun 2009.

Masalah PRT di Indonesia, menurut Lita, merupakan fenomena gunung es. Sekitar 75 persen dari 400 lebih kasus yang terdeteksi selama lima tahun lewat pemantauan media dan berbagai laporan adalah kekerasan fisik.

”Tahun 2009 ILO menyebarkan kuesioner kepada negara anggota, yang antara lain menanyakan apakah perlu konvensi, konvensi beserta rekomendasi, atau rekomendasi saja untuk perlindungan PRT,” ujar Lita.

”Jawaban Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mewakili Pemerintah Indonesia tahun lalu adalah rekomendasi. Alasannya dikhawatirkan konvensi tak cocok dengan standar di Indonesia, terkait kondisi sosial ekonomi dan budaya kekeluargaan.”

Paket

Isu PRT tak bisa dipisahkan dengan isu pekerja migran karena lebih dari 70 persen pekerja migran asal Indonesia bekerja di sektor domestik. Seperti dikemukakan anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Rieke Dyah Pitaloka, RUU Pekerja Rumah Tangga, Amandemen UU Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan Ratifikasi Konvensi ILO tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya adalah satu paket.

”Sekarang ditambah dukungan untuk Konvensi ILO mengenai PRT,” kata Lita.

Kecuali ratifikasi konvensi—diagendakan dalam Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia sejak 10 tahun lalu—dua lainnya masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2009-2014.

Persiapan ratifikasi sebenarnya sudah dilakukan, begitu dikatakan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar beberapa waktu lalu.

”Ada dua pendapat yang berkembang,” ungkapnya. ”Satu, ratifikasi konvensi merupakan pintu meningkatkan posisi tawar di negara penempatan TKI. Pendapat lain mengatakan, ratifikasi konvensi tak serta-merta melindungi TKI, hanya sampai pada citra, kalau negara penerima tidak meratifikasi.”

Sebelum itu, menurut Muhaimin, yang terpenting adalah perjanjian bilateral. Misalnya, perbaikan Nota Kesepahaman (MOU) Indonesia-Malaysia soal TKI yang tahun 2006 sudah disepakati dan segera ditandatangani. Ada perubahan signifikan menyangkut hak TKI, antara lain paspor boleh dipegang TKI, libur sehari dalam seminggu, gaji minimum, dan struktur biaya.

”Katanya mau ditandatangani akhir Januari, tetapi belum ada kabar,” tanggap Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah. ”Memang ada perbaikan, tetapi gaji masih terlalu rendah, yaitu 600 ringgit dibandingkan PRT Filipina yang 1.200 ringgit.”

Menurut Anis, MOU adalah urutan terbawah dalam perjanjian internasional tentang buruh migran. ”Indonesia tak boleh bertindak seperti pihak tak berdaya,” tegas Nisha Varia, ”Harus dilakukan tindakan nyata untuk melindungi TKI, khususnya TKI-PRT yang terus mengalami berbagai bentuk kekerasan.”

Selama melakukan riset di Timur Tengah, Nisha melihat perbedaan perlakuan antara perwakilan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Filipina terhadap tenaga kerja bermasalah, mulai kondisi penampungan sampai kebebasan berkomunikasi.

Tak peduli

Tampaknya agenda perlindungan belum menjadi prioritas pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Anis, selama 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (20 Oktober 2009-27 Januari 2010), 178 buruh migran tewas di tempat kerjanya. Sampai akhir Desember 2009, 1.098 buruh migran tewas, lebih dari 60 persen kasus terjadi di Malaysia.

Menurut Muhaimin, telah dibentuk gugus tugas bersama antara pihak imigrasi dan kepolisian Indonesia dan Malaysia untuk identifikasi, penyelesaian kasus, dan perlindungan. Namun, Anis melihat pemerintah lebih sibuk dalam program pemulangan buruh bermasalah.

TKI yang dideportasi dari Malaysia sekitar 35.000 orang per bulan lewat pintu Tanjung Pinang saja. Aktivis memperkirakan, tahun ini akan ada pemulangan besar-besaran lagi buruh migran tak berdokumen dari Malaysia. (Sumber ; http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/05/03535368/perlindungan.internasional.untuk.prt )

Baca Juga



0 comments:

Post a Comment