BERITA LAMPUNG

Saturday, July 31, 2010

Strategi Menghadapi Kompleksitas Masalah Perumahan Rakyat

Strategi Menghadapi Kompleksitas Masalah Perumahan Rakyat : Masalah perumahan tentunya dihadapi oleh semua orang dan semua pihak. Dalam kehidupan sehari-hari, masalah perumahan yang ada cukup beragam, tergantung dari para-pihak yang berkepentingan. Berbagai kelompok di masyarakat memiliki masalahnya sendiri yang berbeda-beda. Mulai dari para lajang, kalangan pedagang, para pekerja industri, kalangan profesional, kelompok penglaju (commuter), para pegawai negeri, para prajurit dan polisi, dan sebagainya.

Masalah bagi keluarga-keluarga berpendapatan rendah adalah sulitnya menemukan tempat tinggal yang layak dan terjangkau di dekat tempat kerjanya, khususnya di perkotaan. Sedangkan bagi keluarga-keluarga miskin masalah yang dihadapi adalah tidak dijumpainya pilihan tempat tinggal yang aman dari penggusuran. Mereka juga menghadapi masalah pengusuran itu sendiri. Para pemuda menghadapi masalah sulitnya menemukan sebuah rumah mungil yang layak dan terjangkau sebagai tempat tinggal di masa magang sebagai keluarga baru. Para orangtua juga selalu risau melihat kenyataan sulitnya anak-anaknya memperoleh tempat tinggal setelah menikah, sehingga selalu berupaya mendapatkan uang yang banyak untuk membantu memenuhinya.

Masyarakat menghadapi masalah dan berupaya mengatasinya sendiri-sendiri dengan berbagai sumberdaya yang dimiliki dan berbagai cara yang dipandang memungkinkan, sesuai latar belakang budayanya masing-masing. Para orangtua yang mampu akan mengumpulkan uang dan membeli tanah yang banyak atau membelikan rumah untuk anak-anaknya yang telah menikah. Profesional muda bekerja keras dan menabung untuk bisa mendapatkan rumah. Para keluarga muda berpindah-pindah kontrakan hingga mampu memiliki rumah sendiri setelah beberapa masa yang tidak pasti lamanya. Keluarga-keluarga miskin yang kurang berpendidikan terperangkap ke dalam dunia informal perkotaan. Bagi mereka memperoleh tempat tinggal secara informal di bantaran sungai dan lahan yang tidak terawasi, adalah solusi. Di tengah ketidakberdayaannya menghadapi kehidupan kota yang serba formal, mereka tetap membayar meskipun secara informal. Yang pasti, mereka tidak mengerti arti kata formal dan informal.

Masalah bagi para pengembang perumahan lain lagi, yaitu ketidak jelasan proses perijinan dalam usaha di bidang perumahan. Sedangkan bagi bank yang menjalankan bisnis bank di bidang perumahan, menghadapi masalah sulitnya mendapatkan sumber dana jangka panjang yang sesuai dengan karakter kredit perumahan, serta adanya kemungkinan kredit macet.

Makalah ini tidak membahas lebih jauh ragam masalah dari sisi kebutuhan perumahan seperti di atas. Yang hendak diangkat adalah, apa yang perlu dilakukan negara dan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyatnya? Namun yang dapat digaris bawahi dari uraian ragam masalah tersebut adalah, bahwa perumahan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat. Urusan perumahan rakyat merupakan sektor publik penting yang membutuhkan intervensi kebijakan pemerintah. Jadi pokoknya adalah, masalah kebijakan seperti apa yang dihadapi pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan perumahan rakyat?

1. Perumahan Rakyat sebagai Sektor Publik

Berbagai literatur kebijakan publik menggaris bawahi bahwa memahami permasalahan secara tepat merupakan kunci mengembangkan kebijakan publik yang efektif. Berbagai persoalan publik membutuhkan penanganan melalui kebijakan yang disusun di atas rumusan masalah yang tepat. Sebagai salah satu sektor publik, sektor perumahan rakyat juga membutuhkan perumusan masalah yang tepat. Namun, tantangan yang dihadapi adalah justru sulitnya merumuskan masalah yang dihadapi di sektor perumahan rakyat.

Apa masalah perumahan rakyat yang dihadapi pemerintah? Yang pasti pemerintah bukanlah salah satu pihak seperti di atas. Meskipun demikian, di berbagai negara, peran pemerintah dalam bidang perumahan yang pertama-tama dikembangkan adalah untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi para pegawai negara, termasuk tentara dan polisi. Namun peran pemerintah tentunya bukan sebatas itu. Masalah perumahan yang dihadapi pemerintah pertama-tama didasarkan pada visi negara terhadap perumahan rakyatnya, yaitu merumahkan seluruh rakyatnya secara layak (housing the people rather than building the houses). Pemenuhan visi perumahan rakyat yang diamanatkan negara pada pemerintah ini berhadapan dengan ragam kebutuhan dan masalah yang dihadapi masyarakat seperti diatas. Inilah tantangan yang dihadapi pemerintah dan menjadi dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan publik. Bagaimana bentuk intervensi dan peran yang harus dikembangkan oleh pemerintah? Bagaimana kebijakan publik di bidang perumahan? Sejalan dengan ragam masalah di masyarakat, jawabannya adalah: tidak sederhana, kompleks.

Berbagai kajian sosial dan ekonomi dari kebijakan perumahan telah menunjukkan kompleksnya masalah perumahan. Ragam kebutuhan perumahan tidak dapat diintervensi secara sederhana dengan rumusan kebijakan seperti: memenuhi kebutuhan rumah untuk seluruh rakyat. Masalahnya adalah, penyediaan perumahan merupakan proses sekaligus produk yang ditentukan oleh berbagai bentuk kebijakan publik yang ada di berbagai sektor, seperti misalnya pertanahan, pembiayaan, infrastruktur, perindustrian dan perdagangan, industri konstruksi, lingkungan, kesehatan, pemerintahan daerah, dan sebagainya. Lebih jauh, perumahan merupakan komoditi properti yang memiliki perilaku pasar yang tertentu pula, sehingga disebut sebagai pasar perumahan. Sehingga dalam aspek tertentu, kebijakan perumahan adalah kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi pasar perumahan.

Meskipun menghadapi masalah yang kompleks, khususnya jika dilihat dari sisi pengelolaan kelembagaan dan kerangka peraturannya, kajian-kajian mengenai kebijakan perumahan tidak pernah surut. Studi kebijakan perumahan di berbagai negara telah menghasilkan literatur yang banyak sekali. Namun dari semua literatur tersebut, tidak ada satupun kerangka analisis yang memadai yang dapat digunakan untuk memahami akibat-akibat dan bentuk-bentuk interaksi dari berbagai kebijakan multi sektor tersebut secara tepat. Di atas telah disebutkan, bahwa memahami permasalahan secara tepat merupakan kunci mengembangkan kebijakan publik yang efektif. Inilah tantangan kebijakan perumahan sebagai kebijakan publik yang efektif.

2. Pilihan Bentuk-bentuk Kebijakan Perumahan Rakyat

Menghadapi multidimensi dan multisektor permasalahan yang demikian, ada beberapa pilihan bentuk kebijakan yang dapat diambil. Pertama adalah dengan tidak memilih bentuk kebijakan tertentu, melainkan menempatkan kebijakan perumahan rakyat sebagai koordinasi kebijakan (policy coordination). Dalam pengertian ini, pengembangan kebijakan perumahan dilakukan dengan mengkoordinir berbagai kebijakan lain untuk mencapai target-target tertentu. Target-target tertentu ini, termasuk di dalamnya mengenai standar dan indikator yang ditetapkan, juga tidak mudah dirumuskan, baik oleh kementerian perumahan maupun disepakati oleh multi sektor dalam suatu koordinasi kebijakan.

Secara umum, dari perspektif koordinasi kebijakan, berbagai kebijakan terkait perumahan rakyat dapat digolongkan atas tiga kelompok kebijakan. Pertama adalah kelompok kebijakan masukan (input) dalam proses perumahan, seperti pertanahan, infrastruktur, perhubungan, tata ruang dan pengembangan kawasan, dan pembiayaan. Kedua adalah kelompok kebijakan keluaran atau arah kebijakan perumahan, yaitu arah pembangunan yang melalui bidang-bidang tersebut kebijakan sektor perumahan dikembangkan. Contohnya seperti perindustrian, perkotaan, pengembangan kawasan khusun, pertanian dan pedesaan, kelautan dan perikanan, ketenagakerjaan, pembangunan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Sedangkan kelompok kebijakan ketiga adalah kelompok kebijakan pendukung seperti lingkungan hidup, pengairan (dalam rangka menyelesaikan masalah bantaran sungai perkotaaan), pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya. Pilihan terhadap bentuk kebijakan perumahan seperti ini mensyaratkan koordinasi kebijakan perumahan rakyat yang secara efektif dapat menggerakkan ketiga kelompok kebijakan tersebut.

Kedua, adalah dengan memilih bentuk kebijakan tertentu berdasarkan keinginan politik yang kuat untuk memenuhi visi negara terhadap perumahan rakyat. Keinginan politik yang kuat ini tentunya ditindaklanjuti oleh perumusan kebijakan yang baik serta diimplementasi secara terencana dalam bingkai kelembagaan dan kerangka peraturan yang memadai. Beberapa bentuk kebijakan tertentu tersebut adalah seperti kebijakan perumahan umum (public housing), kebijakan fasilitasi perumahan swadaya (self-help housing facilitation) dan kebijakan fasilitasi pasar perumahan (housing market facilitation).

3. Perkembangan Kebijakan Perumahan di Indonesia

Di dalam perkembangannya, Indonesia sudah mengalami berbagai bentuk kebijakan perumahan tersebut. Baik koordinasi kebijakan atau kebijakan koordinatif, kebijakan perumahan umum, kebijakan fasilitasi pasar perumahan dan kebijakan fasilitasi perumahan swadaya. Namun belum ada satu pun bentuk kebijakan yang berkembang. Koordinasi kebijakan pernah berkembang beberapa waktu. Adapun kebijakan yang digunakan hingga kini adalah fasilitasi pasar perumahan, meskipun tidak kunjung menghasilkan pasar perumahan yang bekerja secara efektif.

Ada pandangan yang mengatakan justru keadaan ini menunjukkan ketidakjelasan landasan ideologi dari kebijakan perumahan di tanah air. Apakah demikian? Di sini penulis berpendapat lain. Pandangan demikian hanya benar jika asumsi bahwa Pancasila adalah ideologi yang tidak jelas. Kita semua tentunya bersepakat bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa ini yang sangat jelas membedakannya dari bangsa lain. Justru pilihan-pilihan kebijakan perumahan tersebut adalah konsekwensi Indonesia sebagai negara yang menganut ideologi Pancasila. Kita tidak menganut kebijakan perumahan umum (public housing) semata sebagaimana diterapkan di negara-negara komunis dan sosialis. Indonesia juga tidak menganut ideologi liberal yang menyerahkan seluruhnya kepada mekanisme pasar. Sila Kelima Pancasila lebih mendekatkan landasan ideologi kebijakan perumahan seperti yang diterapkan di negara-negara kesejahteraan. Negara menjamin terpenuhi kesejahteraan rakyat dengan terpenuhinya kebutuhan perumahannya secara layak dan terjangkau melalui harmoni dari berbagai bentuk kebijakan tersebut.

Seperti disebutkan, Indonesia sudah mengalami berbagai bentuk kebijakan perumahan, namun belum berkembang secara memadai dan terlembagakan dengan baik. Sedangkan jumlah penduduk terus bertambah, perkotaan semakin mendominasi bentuk permukiman. Tantangan pemenuhan ragam bentuk kebutuhan perumahan rakyat terus berkembang. Namun pasar perumahan tidak kunjung dapat diregulasi secara efektif.

Pada tahun 1974 dengan dibentuknya Perumnas sebagai pengembang perumahan plat merah (baca sektor publik) dan ditugaskannya BTN sebagai bank perumahan, tampaknya pemerintah mulai meletakkan kebijakan perumahan umum. Di berbagai negara maju yang ditandai dengan kemajuan sektor perumahannya, berkembangnya kebijakan perumahan umum ditandai dengan berkembangnya kapasitas pengembang publik (Perumnas) nya, termasuk dalam penguasaan tanah, arah pengembangan kawasan yang efektif, pembangunan flat-flat (rumah susun) sewa, pengembangan kota-kota baru dan pengelolaan bangunan dan kawasan perumahan. Sebagai perbandingan, di Jepang yang merupakan negara kesejahteraan, UR (Urban Renaissance, Perumnasnya Jepang) adalah pengembang perumahan yang terbesar dan tidak ada yang lebih besar daripadanya. Perkembangannya dapat dilihat dari perubahan namanya yang sejalan dengan progresifitas dinamika visinya. Awalnya bernama HUDC (Housing and Urban Development Corporation), lalu berubah menjadi UDC (Urban Development Corporation), dan kini berubah menjadi UR.

Bagaimana kebijakan perumahan umum di tanah air? Dalam perjalanannya, kebijakan perumahan umum di Indonesia tidak berkembang alias bantet. Istilah perumahan umum saja pun menjadi aneh terdengarnya. Fenomena perumahan umum seperti itu hanya dialami beberapa tahun, yaitu sekitar tahun 1974 sampai sekitar awal tahun 1980-an, yang ditandai dengan penguasaan tanah yang semakin banyak dan pembangunan rumah-rumah susun. Selebihnya, Perumnas dan BTN justru terperosok ke dalam bentuk kebijakan perumahan yang lain, yaitu fasilitasi pasar perumahan yang tanggung.

Fenomena kebijakan salah kamar ini tidak disadari karena memang tidak ada evaluasi kebijakan perumahan yang memadai. Perumnas dan BTN telah salah kamar ditandai dengan ritual tahunan dalam bentuk pembangunan RSS-milik dan penggelontoran subsidi KPR. Mengapa dikatakan terperosok? Karena ternyata pembangunan RSS-milik oleh Perumnas setiap tahunnya menghabiskan dana-dana yang tidak diketahui publik, yaitu dalam bentuk dana Public Service Obligation (PSO) yang bersumber dari APBN untuk menambal ketekoran Perumnas. Aset tanah bukan hanya tidak berkembang, namun semakin mengkeret. Sedangkan ritual tahunan penggelontoran subsidi (KPR) kepada BTN membuat BTN berada di simpang jalan. BTN semakin terseret ke dalam mekanisme perbankan yang tidak ramah pasar. Tentunya dari kacamata bisnis bank! Dihentikanya sumber KPR dari BLBI sering diajukan sebagai alasannya. Apa memang begitu? Kebijakan salah kamar telah membuat Perumnas dan BTN sebagai aktor yang terkatung-katung dalam pusaran pasar properti yang liberal. Sebagai wujud kebijakan fasilitasi pasar perumahan tidak efektif (tanggung), sebagai wujud kebijakan perumahan umum tidak kena.

Di sisi lain, kebijakan fasilitasi pasar perumahan juga belum berkembang. Pasar primer perumahan belum berjalan secara berkelanjutan selain terus bergantung pada ritual subsidi KPR dan kawasan perumahan RSS yang lambat berkembang, bahkan banyak yang tidak berkembang alias mangkrak. Menteri Perumahan bisa saja mengira bahwa memperjuangkan subsidi KPR ini adalah tugas utamanya setiap tahun pada saat rapat kabinet. Padahal fasilitasi pasar perumahan masih menyisakan banyak sekali agenda kebijakan, seperti fasilitasi pasar pertanahan, fasilitasi sumber-sumber dana, stimulasi industri konstruksi, koordinasi standar, dan sebagainya. Ketika pasar primer perumahan belum berjalan dengan baik, pemerintah sudah mulai membangun sistem pasar sekunder pembiayaan perumahan dengan mendirikan PT. SMF. Dalam sebuah diskusi, seorang petinggi SMF justru menuding belum bekerjanya pasar primer perumahan sebagai akar masalah sulit berkembangnya pasar sekunder pembiayaan perumahan.

Demikian juga dengan kebijakan fasilitasi perumahan swadaya yang baru terbentuk dalam struktur Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 2005, masih belum berkembang dan tidak memiliki mekanisme dan target kelompok sasaran yang cukup jelas. Kekeliruan utama fasilitasi perumahan swadaya adalah sama sekali menghindari fasilitasi perumahan informal (ilegal atau squatter). Bahkan tidak ada respon sedikitpun terhadap fenomena penggusuran yang semakin menjadi-jadi. Padahal paradigma perumahan swadaya menghormati penyediaan perumahan secara mandiri oleh masyarakat, yang seharusnya dipandang sebagai suatu proses alami. Definisi formal maupun informal bukanlah kategorisasi penting dari sudut pandang ini. Definisi pentingnya adalah keberdayaan dan ketidakberdayaan. Dengan demikian, permukiman informal harus menjadi target utamanya. Mengapa? Karena komunitas permukiman dan proses perumahan informal adalah yang paling tidak berdaya menghadapi pasar perumahan.

Kebijakan fasilitasi perumahan swadaya hendaknya melakukan napak tilas sejarahnya. Perlu secara konsekwen mengikuti landasan pemikiran pemberdayaan yang melatarinya. Fasilitasi perumahan swadaya seharusnya berfokus pada proses formalisasi dan regularisasi melalui pendekatan pemberdayaan. Dengan demikian fasilitasi perumahan swadaya justru harus menempatkan penanganan permukiman informal sebagai perhatian utamanya, bukan yang lain.

Di antara berbagai bentuk kebijakan perumahan yang masih sebagian-sebagian dijalankan tersebut, dapat dicatat bahwa bentuk kebijakan yang paling efektif yang pernah dijalankan adalah dalam bentuk koordinasi kebijakan perumahan pada masa pemerintahan Orde Baru. Peran koordinasi kebijakan perumahan dijalankan oleh Menteri Perumahan melalui sebuah badan yaitu BKP4N (Badan Kebijakan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional) yang sebelumnya bernama BKPN (Badan Kebijakan Perumahan Nasional). Namun kinerja koordinasi yang cukup efektif lebih karena didukung oleh faktor kepemimpinan seorang Menteri Perumahan. Dapat dicatat bahwa figur-figur Menpera terdahulu seperti Cosmas Batubara, Siswono Judohusodo dan Akbar Tanjung adalah tokoh-tokoh berpengaruh yang memiliki kepemimpinan yang kuat. Pada masa itu ketiganya juga menempati posisi sebagai Sekretaris Dewan Pembina Golkar. Sebagai catatan, efektifitas koordinasi pada masa itu belum didukung oleh mekanisme koordinasi yang efektif dan terlembagakan. BKP4N mulai meredup di masa kepemimpinan Dirjen Permukiman di era Departemen Kimpraswil tahun 2000-2004. Kini BKP4N tidak pernah terdengar lagi.

4. Menghadapi Masalah Kebijakan Perumahan yang Kompleks

Sebagai salah satu sektor publik, sektor perumahan rakyat di Indonesia menghadapi masalah yang kompleks. Perlu diperhatikan bahwa strategi menghadapi masalah yang kompleks jauh lebih penting dibanding merumuskan berbagai strategi penanganan berbagai masalah yang dipandang secara parsial. Perkembangan kebijakan perumahan di Indonesia hendaknya tidak menghasilkan kumpulan aksi yang involutif semata. Sebelum menyusun strategi menghadapi masalah yang kompleks, dan sebelum menentukan arah dan bentuk kebijakan perumahan yang mantap, perlu lebih dulu mengenal karakter (nature) dari sebuah masalah kebijakan yang kompleks.

Setidaknya ada tiga masalah mendasar yang saling terkait satu sama lainnya, yang memberi karakter masalah kompleks kebijakan perumahan. Masalah dasar pertama adalah masih kurangnya pemahaman akan sektor perumahan itu sendiri, terutama di kalangan pihak-pihak terkait pembuatan kebijakan. Masalah dasar kedua adalah masalah politik, yang terkait dengan masalah dasar pertama. Akibat belum berkembangnya pemahaman yang komprehensif, intervensi politik di bidang perumahan cenderung mengambil langkah-langkah praktis. Masalah dasar ketiga adalah masalah pengelolaan kebijakan yang memiliki kompleksitas tinggi. Adanya masalah dasar pemahaman dan politik praktis turut menambah kompleksitas proses pembuatan kebijakan perumahan.

Dalam situasi seperti ini, bidang perumahan rakyat potensial untuk diselenggarakan secara parsial dan didominasi oleh aktor dan program favorit tertentu saja. Kebijakan perumahan terperangkap oleh masalah-masalah teknis yang tak pernah terselesaikan. Urusan perumahan rakyat terpinggirkan di antara agenda-agenda pembangunan lainnya. Padahal, pembangunan perumahan mendominasi proses pengkotaan (urbanisation) yang secara terus menerus mengkonversi lingkungan alam dan berbagai sumber daya alam, dana dan sumber daya lain menjadi lingkungan binaan (built environment). Pembangunan perumahan yang parsial hanya menghasilkan mosaik lingkungan binaan yang semrawut dan justru menjadi sumber bencana. Pembangunan perumahan merupakan instrumen strategis bukan hanya untuk membangun sumber daya manusia Indonesia, namun sekaligus untuk mewujudkan lingkungan binaan yang dapat menjadi aset sekaligus mesin pembangunan sosial dan ekonomi untuk meningkatkan daya saing bangsa.

Sebagai contoh kebijakan perumahan yang parsial adalah kebijakan kontemporer mengenai pembangunan rusunami. Peraturan tata ruang dan bangunan justru dipandang sebagai kendala. Padahal, akibat kurang memperhatikan tata ruang dan peraturan bangunan, program rusunami yang dikembangkan secara sporadis justru memberi dampak penting terhadap daya dukung kawasan dan keberlanjutan pengelolaan bangunan. Kesalahan mendasar dari kebijakan rusunami adalah fasilitasi pasar perumahan secara berlebihan, yang seharusnya diarahkan kepada dukungan pengembangan kebijakan perumahan umum. Melesetnya kelompok sasaran dan hilangnya pemasukan negara yang besar akibat insentif berbagai pajak, sangat tidak sebanding dengan hilangnya kesempatan untuk memupuk kebijakan perumahan umum dan tetap tidak terpenuhinya kebutuhan perumahan dari kelompok sasaran secara efektif. Tower-tower megah bisa saja berdiri sebanyak seribu buah, namun prioritas kebutuhan perumahan rakyat tetap tidak terpenuhi. Kebijakan tidak melembaga. Kota-kota tumbuh menjalar dan tidak berubah menjadi aset yang dapat diandalkan sebagai mesin pembangunan ekonomi.

5. Penutup

Dalam menghadapi kompleksitas masalah kebijakan seperti ini, kita tidak memiliki informasi yang memadai mengenai sebab dan akibat dari suatu masalah. Sebelumnya telah disebutkan, tidak ada satupun kerangka analisis yang memadai yang dapat digunakan untuk memahami akibat-akibat dan bentuk interaksi-interaksi dari berbagai kebijakan multi sektor yang terkait bidang perumahan rakyat secara tepat.

Pengembangan kebijakan perumahan rakyat perlu didukung oleh mekanisme koordinasi yang efektif, melalui pemetaan multi kebijakan, perumusan arah kebijakan strategis dan pembuatan kesepakatan-kesepakatan, rencana dan program bersama. Perlu terus dipupuk kemampuan yang tinggi untuk mengelola kompleksitas masalah-masalah mendasar yang ada, sejak dari hulunya. Membuka ruang dialog, pemetaan ragam masalah dan pelaku-pelaku secara partisipatif, mengkaji dan mengembangkan jejaring relasi-relasi yang ada, membangun kepedulian seiring dengan pemahaman, merupakan langkah awal yang diperlukan untuk menghadapi kompleksitas permasalahan perumahan rakyat. Makalah
Strategi Menghadapi Kompleksitas Masalah Perumahan Rakyat
(Oleh: M. Jehansyah Siregar, Ph.D)

Baca Juga



0 comments:

Post a Comment